Di ufuk timur yang masih gelap, ketika kota masih terlelap, seorang kakek tua berusia 80 tahun sudah bangkit dari tidurnya yang singkat. Kakek Bujang—begitu orang-orang memanggilnya—menyusuri jalan sepi dengan langkah gontai menuju pasar. Jam 3 pagi, saat udara masih menusuk tulang, dia sudah berdiri di antara tumpukan pisang, memilih 15 sisir yang akan dibawanya pulang. Bukan dengan kendaraan, tapi dengan sepeda tuanya yang selalu setia menemani.
Badannya yang ringkih tak lagi mampu mengengkol sepeda yang sarat muatan. Maka, dengan tangan bergetar dan nafas tersengal, Kakek Bujang mendorong, menarik, dan menyeret sepedanya perlahan. Roda-roda itu bergerak bukan karena putaran pedal, tapi karena tekadnya yang tak pernah patah. Dari subuh hingga sore, ia berkeliling kota, menawarkan pisang demi pisang dengan suara lirih yang kerap tenggelam oleh deru kendaraan.
Rumahnya sederhana, bercahaya lilin kesederhanaan. Tinggal bersama anak dan cucu yang hidupnya juga pas-pasan, Kakek Bujang menjadi tiang penyangga terakhir. Tak ada lagi sang istri yang dulu menemani—ia telah pergi jauh, meninggalkan kenangan dan kesepian yang tak terucap. Tapi air mata tak punya tempat di hati seorang pejuang.
Setiap senyum pembeli yang membeli pisangnya adalah semangat baru. Setiap lembar uang receh yang masuk ke kantongnya adalah harapan untuk sesuap nasi besok. Meski kakinya sudah tak stabil, meski punggungnya sudah membungkuk, Kakek Bujang tetap berdiri. Bukan karena kuat, tapi karena ia tahu: selama masih ada nafas, hidup harus terus diayuh meski hanya dengan dorongan terakhir dari sisa-sisa tenaga.
Belum ada Fundraiser
Menanti doa-doa orang baik